Seribu Bangau

Seribu bangau di udara
Satu, demi satu, demi satu
Mengepakkan sayap putihbersih
Menuju matahari senja di cakrawala

Seribu bangau di langit keemasan
Terbanglah tinggi di atas sana
Bawalah impian dan harapan
Menuju matahari senja di cakrawala

Seribu bangau, seribu harapan
Akan esok hari nan cerah
Seribu bangau terbang di angkasa
Menuju titik cahaya di ujung cakrawala

           Ketika aku masih kecil, ibuku pernah berkata, “Jika kau mencintai seorang laki-laki, kau harus tunduk padanya. Kau harus membelanya dengan sepenuh hatimu. Menjaga nama baiknya dan melayaninya dengan sepenuh hati. Itulah seorang perempuan yang baik. Perempuan yang berbudi. Berbahagialah ketika dia bahagia dan bahagiakanlah dia saat dia sedih. Sebab harga seorang perempuan dilihat dari laki-laki yang memilikinya. Sebab perempuan diciptakan bagi laki-laki.”

Sungguh itu pulalah yang kulakukan ketika aku mencintai seorang laki-laki. Aku mencintainya dengan segenap jiwa dan ragaku. Menyerahkan apa saja yang dapat kuserahkan padanya. Dan ketika dia melakukan kesalahan, aku membelanya dengan segenap jiwa dan ragaku pula. Sebab itulah yang terpatri di dalam benakku, di dalam hatiku. Seorang perempuan dinilai dari laki-laki yang memilikinya. Dan laki-laki yang kau cintai adalah laki-laki yang memilikimu.

Maka ketika dia berpaling dan pergi, aku tetap menyayanginya. Aku tetap melayaninya dan membelanya, meskipun dia mengaku bersalah. Meskipun dia bersalah telah berpaling dariku. Aku tetap miliknya, laki-laki yang aku cintai.

“Kau tahu, laki-laki seperti dia tidak pantas untuk dicintai,” kata seorang temanku, yang pada suatu saat yang lampau pernah bersanding denganku. “Kau terlalu banyak membelanya, meskipun dia tidak pantas dibela lagi. Dia mencampakkanmu dan kau tetap mengatakan, bahwa aku tidak boleh marah? Siapakah dia sampai dapat memperdayamu seperti ini? Siapa dia sampai kau terus mendambanya?”

Dia adalah laki-laki yang aku cintai. Dan enyahlah engkau bayang-bayang masa lalu! Bukankah setelah aku pergi, kau tetap juga mencintaiku? Bukankah meski kau sudah menemukan pasangan bagimu, kau tetap berusaha menjagaku? Tidak bolehkah aku mencintainya? Tidak bolehkah aku menyerahkan segenap diriku bagi orang yang aku cintai? Seperti kau mencintai diriku ini?

Kau tahu? Seseorang pernah mengatakan bahwa laki-laki akan tunduk pada kesabaran seorang perempuan. Dia akan tunduk pada kelembutan seorang perempuan, pada kehalusan budinya. Pada api jiwa yang dipancarkan dari sanubarinya. Jadi bersabarlah, maka dia akan kembali ke dalam pangkuanmu.

Tapi, akankah aku menggantungkan impianku setinggi bintang di langit? Akan sakit sekiranya aku terjatuh dari pijakan-pijakan terjal untuk menggapainya. Akan sakit ketika kau menyadari, dia sudah meninggalkanmu. Dia tidak ada lagi di dalam dekapanmu. Tidak dapat lagi kautimang, kauhibur bila dia terluka, kaubelai dengan lembut bila dia berduka. Bahkan semakin kau berusaha menjamahnya, semakin tak terjangkau bayang-bayangnya.

Hai Perempuan, siapakah laki-laki itu, sampai kau terpuruk di tanah gersang tak bertuan ini?

Hai Perempuan, siapakah laki-laki itu, sampai kau merendahkan dirimu sampai serendah-rendahnya?

Ataukah kau memang rendah? Seorang perempuan, hanya seorang perempuan yang tidak ada harganya, sehingga dia meninggalkanmu? Adakah kau terlalu murah? Adakah kau terlalu mudah? Sehingga dia mencari perempuan yang berharga tinggi?

“Kau hanya perempuan eksperimental,” kata sahabatku ketika dia pergi. “Kau terlalu baik. Dia hanya mempermainkanmu saja. Dia tidak mencintaimu. Dan laki-laki yang tidak mencintaimu tidak pantas mendapatkan cintamu.”

Bukankah cinta hanya bermain? Bukankah semua cinta sebuah eksperimen tak berkesudahan? Dapatkah kau mencintai dua orang yang berbeda dengan cara yang sama? Tidakkah semua hubungan unik, yang kita namai cinta itu, semuanya eksperimental?

“Tinggalkanlah dia, biarkan dia menyesal telah meninggalkanmu. Kau tahu, kau tidak akan menyadari telah memiliki sesuatu sampai kau sadar kau telah kehilangan. Dia tidak akan menyadari kehilangan dirimu bila kau tidak meninggalkan dirinya. Oleh karena itu, Temanku, carilah laki-laki lain, yang dapat menghiburmu, dan buatlah dia buta mencemburu. Sebab itu akan membawanya kembali kepadamu. Tinggalkanlah dia.”

Tidak! Tidak sekalipun aku mau menjual cintaku demi mendapatkannya kembali. Tidak sekalipun!

Perempuan bukanlah makhluk rendah. Perempuan bukanlah budak laki-laki. Bukan pula miliknya. Dan cinta bukanlah alasan untuk membiarkan orang lain memiliki dirimu, sebab hanya kaulah yang memiliki dirimu. Dan kau pula tidak akan dapat memiliki orang lain, meski dia mencintaimu dengan segenap jiwa dan raganya.

“Sebab itu,” katanya ketika dia pergi, “Aku tidak meninggalkanmu. Aku membebaskanmu. Terbanglah bebas bagaikan bangau-bangau di angkasa. Melabuh udara menuju matahari tenggelam. Melabuh udara menuju kebebasan.”

Ketahuilah, tiada saat di mana aku meragukan cintamu, bisikku. Tiada saat aku tidak mempercayaimu. Maka dari itu, aku membiarkanmu pergi. Karena aku tahu kau akan bahagia ketika kau bebas dan lepas. Terbanglah, terbanglah tinggi di angkasa. Dan ketika sayap-sayapmu lelah, datanglah. Datanglah padaku. Dan kusenandungkan laguku dalam relung-relung telingamu….

 

Mei 2002