Tidak ada
yang tau kisah ini kecuali aku, Reika, dan Ange. Tidak juga Winter yang senang
mencampuri urusan orang lain itu ataupun Rain yang sering meminjam komputerku.
Ya, tidak ada yang tau kisah ini selain aku, Reika, Ange dan sebuah kota di
balik belahan dunia ini. Dan cerita ini terpapar dalam file “.doc” di dalam
komputerku dengan aman tanpa takut seorang pun akan membacanya.
Entah kapan aku menerima file itu dari Ange, aku sudah tidak ingat lagi. Yang pasti, kisah ini kututup rapat-rapat di balik tembok password – dan yang paling utama, “tembok bahasa”. Sesuatu yang tidak akan kuceritakan meski sedang bermain “Simon Says” ataupun “Truth or Dare” bersama dengan teman-teman serumahku itu. Sesuatu yang terus kusimpan, yang terus kukenang sampai waktuku berlalu nanti……
Antara
Aku, Albert, dan Cinta
Aku masih ingat pertanyaanku pada saat dia memintaku menjadi pacarnya, “Kalau nanti aku menemukan cowok yang lebih baik, bagaimana? Kan pacaran itu penjajakan buat mencari yang lebih baik.”
“Kalau itu memang yang terbaik untuk kita, yah, tidak apa-apa,” jawabnya. Suaranya tetap tenang ketika menjawab pertanyaanku yang menjebak itu. Saat itu aku mengira kata-kata itu akan menjebaknya, tapi ternyata, akulah yang terjebak dalam jaring-jaring pertanyaan itu.
Satu tahun kami bersama. Kami adalah “pasangan yang paling pengen dibikin putus” versi teman-teman di sekolah. Kami sering terlihat berdua, bersama di mana-mana, tapi waktu pacaran kami tidak pernah mengganggu kegiatan-kegiatan yang lain. Kami mengikuti unit kegiatan yang berbeda, punya hidup yang berbeda pula, tapi hubungan kami sama sekali tidak memberikan halangan bagi kami untuk menghabiskan waktu “terpisah”. Toh, kami hampir setiap hari bertemu.
Dia tidak pernah mempermasalahkan apakah aku pergi dengan laki-laki lain. Dia selalu mempercayaiku. Tidak pernah dia mencurigai dan menanyai dengan siapa aku pergi, dan juga sebaliknya. Kehidupan pribadi kami tetap berjalan dengan mulus. Tidak ada curiga dan tidak ada cemburu.
Entah siapa yang pertama mulai, saat kenaikan kelas, hubungan kami mulai renggang. Aku tidak akan menyalahkan Reika yang masuk ke antara kami berdua. Aku tidak akan menyalahkan dia yang kemudian memilihnya. Dan terlebih, aku tidak akan menyalahkan diriku meski sudah menebarkan jaring laba-laba setan itu.
Awal tahun kedua, Reika masuk ke dalam kehidupan kami. Dia anak yang manis dengan tubuh mungil. Aku berkenalan di sekretariat Rokat beberapa saat setelah masa orientasi siswa selesai. Dia bermain kartu bersama dengan beberapa anak laki-laki. Sepertinya dia baru mulai belajar bermain. Aku duduk di sana membaca novel yang kupinjam dari seorang teman dan menunggu Albert dengan diam. Ketika dia datang pun aku masih tetap diam dengan mata terpusat pada novel di tanganku. Aku tau pasti Al akan main kartu dulu, seperti biasanya. Dan itulah yang dia lakukan.
Dengan duduk di samping Reika, dia mulai bermain, mengambil tempat yang kosong. Dan membantunya dengan menjelaskan aturan main yang biasa berlaku di sini. Aku sendiri hanya melirik sebentar. Tidak heran kalau Al mudah akrab dengan orang yang sama-sama penggemar kartu, itu sudah seperti hidupnya sendiri.
Sampai beberapa hari ke depan, setiap kali aku datang ke sekretariat, aku selalu melihat mereka bermain kartu. Tidak ada yang aneh di sana, hanya aku merasa sebal setiap kali mereka tertawa-tawa dengan senang. Apakah ini yang dinamakan cemburu? Padahal biasanya aku tidak pernah seperti ini.
“Kayanya si Reika itu hobi main kartu,” kataku ketika dia mengantarku pulang, “Jadian aja, deh!” Aku melanjutkan dengan nada canda ceria, meskipun hatiku was-was juga. Bagaimana pun aku tidak ingin hal itu terjadi.
“Boleh juga,” jawabnya, “Lagi pula dia itu tipe gue banget.”
Aku terkekeh meski tidak bisa kupungkiri, hatiku rasanya panas.
Setelah hari itu aku semakin sering melihat mereka bersama. Tidak hanya bermain kartu saja, mereka sering kudapati mengobrol asyik di sekretariat. Aku kadang-kadang ikut mencampuri obrolan mereka, tapi sering kali aku berpura-pura sibuk dengan urusanku sendiri. Hal ini diperparah dengan anak-anak Rokat yang justru membuat suasana semakin panas dengan segala percandaan mereka.
“Coba ya, emangnya gue ini batu?” Aku menggerutu pada temanku Fanny. Dia mendengarkan dengan setia segala keluh kesahku. “Elo marah nggak sih kalo cowok loe ngobrol terus sama cewek lain sementara elo ada di sana?”
“Bilang aja sama dia.”
“Nggak bisa lah! Selama ini khan gue sama dia saling percaya aja. Entar kalo gue nanya ke dia, dianya malah marah. Dikirain gue nggak percaya sama dia.”
“Emangnya dia nggak cemburu gitu kalo ngeliat elo jalan sama cowok lain.”
Aku diam sejenak, berpikir, lalu menggelengkan kepala kuat-kuat. Seingatku dia tidak pernah sekalipun mengungkapkan rasa cemburu padaku. Tidak pernah juga ada rasa keberatan meskipun aku meninggalkan dia untuk waktu yang lama berkaitan dengan segala kegiatanku.
“Masa sih? Bukannya cemburu itu tanda bahwa dia itu cinta sama elo?”
“Itu kalo buat dia tandanya posesif.”
“Ih… tapi kan kalo cowok nggak pernah cemburu sama ceweknya, berarti dia udah nggak care lagi donk. Elo sendiri juga pengen kan kalo cowok elo itu cemburu ngeliat elo akrab-akrab sama cowok lain?”
Aku mendesah. “Iya sih…..”
“Ya udah, bikin aja dia cemburu….”
“Eh, gile loe yeh?”
Tapi usul Fanny itu benar-benar mempermainkan pikiranku, dan akhirnya aku memutuskan untuk nekat mencobanya. Pilih punya pilih, aku mendekatkan diri dengan Eka. Dia temanku di tempat les Bahasa Inggris. Kadang-kadang dia mengantarku pulang kalau Albert berhalangan.
Aku sering menceritakan tentang Eka di hadapan Albert. Aku ingin egonya terluka supaya dia memarahiku dan meyuruhku menjauhi Eka. Tapi tidak sama sekali. Dia tetap diam, tidak pernah ada komentar apa-apa selain, “Jadian aja deh elo berdua!” di tengah tawanya yang renyah itu.
Dia juga tetap dekat dengan Reika. Semakin dekat malah. Mereka memang tidak pernah pergi berdua, paling tidak sepengetahuanku. Reika juga tau bahwa Albert adalah pacarku. Tapi aku merasa bahwa Albert semakin jauh dari sisiku. Semakin tidak terjangkau. Dan aku semakin terlibat jauh dengan Eka meski tanpa melupakan Albert. Sampai aku sampai pada titik jenuhku.
“Memangnya elo itu cowok gue atau cowoknya Reika sih?” bentakku suatu saat. Saat itu Reika baru saja pulang dan sekretariat sudah sepi.
“Wo…. Koq sewot sih?”
“Ha iya, emangnya kalo gue liat cowok gue akrab-akraban sama cewek lain gue mesti diem terus. Emangnya elo nggak nyadar kalo gue ini BT ngeliatin elo berdua asik-asik terus sementara gue diem aja nggak ada kerjaan.”
“Siapa suruh elo diem aja? Kan elo bisa ikut gabung.” Kalimatnya masih terdengar datar dan tenang. “Lagian,” lanjutnya, “Kenapa sih elo pake cemburu kaya gitu?”
“Elo kelewatan, tau?”
“Kan kata elo kita pacaran buat penjajakan?”
Mendengar jawabannya aku merasa bagaikan disambar petir. Aku diam cukup lama. Mataku terasa panas oleh air mata, tapi aku tidak ingin menangis. Buat apa menangisi orang yang sudah mengecewakanku seperti ini?
“Apalagi, sepertinya kamu juga menemukan cowok yang lebih baik, kan?” Dia balik bertanya. Senyumnya terlihat sinis.
Tanpa sadar aku menampar pipinya. “Elo aja nggak tau, gue cuman pengen ngebikin elo cemburu!” Aku berbalik dan segera pergi. Aku berharap dia mengejarku dan segalanya bisa kembali lagi seperti sebelum ada Reika, tapi dia tidak beranjak dari kursi kayu itu. Dia hanya mendesah panjang dan membenamkan mukanya ke dalam lipatan tangan.
Setelah itu aku seolah-olah tidak pernah mendengar kabanya lagi. Aku tidak pernah lagi datang ke sekretariat Rokat. Tidak pernah lagi berusaha meneleponnya, meskipun dalam hati aku ingin untuk menghubunginya. Setelah kami lulus pun kami tetap saling membisu.
Setauku dia sempat dekat dengan Reika sampai beberapa saat kemudian Reika menemukan cowok lain. Dia tetap tidak menunjukkan tanda-tanda marah atau sedih ditinggalkan. Lalu dia pindah ke Amerika untuk meneruskan studinya.
Aku sendiri tidak melanjutkan hubunganku dengan Eka. Dia mengerti ketika aku menjelaskan duduk permasalahanku. Kemudian dia pindah ke Surabaya untuk kuliah. Meski begitu kami tetap bersahabat baik dan masih berhubungan sampai sekarang.
Dan sekarang aku duduk di atas pesawat yang melintasi Samudra Pasifik menuju Los Angeles. Aku mendapatkan beasiswa untuk menyelesaikan S1-ku di sana. Mungkin aku akan sempat bertemu dengan Albert di Amerika sana. Di dalam tanganku tergenggam secarik kertas berisi alamatnya.
Di Atas Samudra Pasifik
Untuk Albert yang tersayang
Angela
Aku masih ingat ketika aku membaca cerita itu sepulang kuliah. Tentu
saja aku masih mengingat Angela. Aku masih ingat rasa sakit pada pipiku ketika
dia menamparku, dua tahun yang lalu. Tidak ada yang bisa mengalahkan perasaanku
padanya. Tidak juga rasa cemburu.Tidak juga rasa kecewa.
Aku akan jauh lebih bahagia melihatnya bahagia bersama dengan orang
lain daripada dia menangis saat bersamaku.Tapi aku akan lebih bahagia bila dia
ada dalam dekapan tanganku ini. Tangan yang akan selalu terbuka bagi
bidadariku, matahariku, cintaku.
Chicago, September 2001
Albert Tjandra