Sepenggal Catatan Harian

Malam ini suara bising jalan di depan tempat tinggalku serasa lebih keras dari biasanya. Suara derungan sepeda motor terdengar lebih jelas. Mobil-mobil yang melarikan diri dengan kecepatan yang tinggi. Suara klakson yang nyaring dari para pengemudi yang tidak sabar untuk pulang. Malam ini, suara sempritan polisi di perempatan jalan terdengar sangat jelas. Aneh… biasanya tidak ada polisi di perempatan jalan itu. Ada apa? Apa yang sudah terjadi?

Tadi pagi rasanya aku masih bisa pergi berjalan-jalan dengan suasana tenang. Tidak seperti kemarin, tadi pagi jalan cukup dipadati kendaraan yang berangkat ke kantor seperti pagi-pagi sebelumnya.

Aneh rasanya, tadi siang aku berdiri di salah satu lembah di Dago Pakar dan melihat ke bawah, ke arah kota Bandung. Aku dan sahabatku mengagumi kota yang memenuhi lembah Parahiyangan ini. Kami duduk berlama-lama sambil memandang ke bawah.

"Bandung itu indah, ya?" tanyaku pada sahabatku. Sebuah pertanyaan retoris, tapi tak urung sahabatku itu menjawab dengan sebuah anggukan kecil. Kami menikmati semilir angin di bawah rindangnya pohon sementara matahari bersinar dengan teriknya.

Kota di bawah kami terlihat kecil ditelan asap polusi bercampur dengan uap air. Ia terlihat kelabu di tengah-tengah bukit-bukit yang menghijau di sekelilingnya. Sesekali kami mendengar suara burung yang berterbangan di langit atas. Kami lalu berjalan turun ke Terminal Dago dengan senda gurau dan tawa.

 

Setelah keluar dari angkutan kota yang penuh sesak kami berjalan menuju rumah seorang sahabat. Dia besok akan pulang ke rumahnya di Medan, diSumatera nun jauh di sana. Tidak banyak yang bisa dilakukan di Bandung ini rupanya. Liburan yang sangat panjang tentunya membosankan. Berada di kota kecil ini mungkin tidak menyenangkan baginya, toh untuk mengambil mata kuliah semester pendek pun kami tidak diijinkan.

Di sela-sela obrolan ringan kami, seorang teman serumahnya muncul. "Bandung rusuh," katanya. Aku dengar darinya, ada penjarahan di Cihampelas, hanya beberapa ratus meter di bawah rumah temanku, di sebuah gang sempit di Ciumbuleuit.

Obrolan kami terhenti dan berubah arah. Temanku, yang memiliki rumah itu, menunjukkan surat kabar yang memuat judul utama yang sama dengan kalimat yang baru saja kudengar itu. Dua puluh delapan mobil dibakar, judul kecilnya berbunyi.

Tiba-tiba pikiranku melayang ke tempat tinggalku ini. Letaknya di dekat jalan raya. Tidak begitu jauh dari tempat kerusuhan kemarin. Aku menjadi khawatir kalau terjadi apa-apa di sana. Betapa tidak, yang ada di rumah saat itu hanyalah ibu kost yang sudah tua dan pembantunya. Lagi pula, di sekitar tempat tinggalku ada banyak toko. Aku meminta diri dan mengucapkan selamat jalan pada temanku yang akan pergi besok.

Aku meloncat ke dalam angkutan kota Cicaheum-Ledeng yang muncul tidak lama setelah aku sampai di pertigaan Gandok. Aku cukup was-was juga dengan sekitarku, tapi hatiku menjadi lebih tenang ketika melihat kegiatan masyarakat yang tampak berjalan seperti biasa. Aku tidak meluputkan mataku pada Pasar Balubur yang aku lewati. Hanya satu toko alat tulis yang tutup. Yang lain masih terbuka lebar, seolah tidak terjadi apapun.

Di ujung perempatan Dago aku berhenti dan segera berlari masuk ke dalam rumah. Para pengamen jalan yang selalu nogkrong di depan rumah menyapa iseng seperti biasanya, "Baru pulang ya, Neng?"

Sepintas aku melihat DSE di seberang sana tutup. Aku mendengar dari pembantu di rumah bahwa tadi siang di BIP juga ada penjarahan.

Aku jadi teringat kejadian Mei, tiga tahun yang lalu ketika aku masih di Jakarta. Tidak banyak aku lihat waktu itu, hanya kepulan asap berwarna merah di langit yang panas. Tidak banyak yang aku rasakan juga. Hanya rasa takut akan hantu-hantu yang tidak jelas rupanya.

Aku melihat ke arah langit untuk memastikan bahwa langit itu masih sama dengan yang kulihat dari Dago Pakar tadi siang. Masih langit biru yang tertutup awan tipis di balik udara yang kelabu. Masih sama dengan langit siang tadi.

Di dalam kamar aku menyalakan radio. Berharap bisa mendapatkan sesuatu darinya. Hmm, mungkin di rumah orang tuaku sedang was-was. Kabar kerusuhan selalu cepat beredar, terutama lewat jaringan internet. Sedikit keributan bisa terdengar ke seluruh dunia hanya dalam hitungan detik.

Tapi aku tidak mendapatkan banyak dari radio. Ah yah… di Bandung sini tidak ada radio seperti Sonora yang memberitakan keadaan jalan setiap saat. Bahkan saat kerusuhan di Jakarta itu sepanjang malam, di tengah kegelapan (saat itu semua warga memutuskan untuk mematikan semua lampu setelah jam delapan malam), kami mendengarkan gerakan massa yang merambah ke seluruh pelosok kota.

Aku menunggu. Tidak ada yang baru. Hanya sebuah bus penuh dengan orang-orang yang pulang dari berdemonstrasi melewati jalan di depan tempat tinggalku ini. Setelah itu terlihat orang-orang berjalan. Tapi mereka semua terlihat tenang. Berjalan sambil bercakap-cakap dan menyebar mencari kendaraan umum. Ada banyak jurusan angkutan kota bisa ditemukan di perempatan ini. Lalu….

Malam ini suara bising jalan di depan tempat tinggalku serasa lebih keras dari biasanya. Suara derungan sepeda motor terdengar lebih jelas. Mobil-mobil yang melarikan diri dengan kecepatan yang tinggi. Suara klakson yang nyaring dari para pengemudi yang tidak sabar untuk pulang. Malam ini, suara sempritan polisi di perempatan jalan terdengar sangat jelas. Aneh… biasanya tidak ada polisi di perempatan jalan itu.

 

 

Sebuah Catatan Harian

Bandung, 14 Juni 2001