Epilog: Dalam Sebuah Gereja

 

Aku memasuki gereja yang sepi dan duduk di barisan paling belakang. Orgel gereja berbunyi dengan merdu memainkan Laudate Domine. Ada yang sedang berlatih. Aku berlutut dan memandangi altar yang disiram cahaya warna-warni oleh sinar matahari yang menerobos masuk lewat kaca patri di belakang altar.

Aku tidak datang ke gereja ini untuk berdoa. Aku datang ke sini untuk mencari ketenangan. Dan apa yang tidak dapat kamu temukan dalam sebuah gedung gereja yang agung selain kesunyian yang damai? Aku menarik nafas dalam-dalam dan merasakan udara mengalir ke dalam tubuhku. Aku hidup, dan aku ada di sini.

Tanpa sadar aku membuat tanda salib dan merenung. Sambil masih memandang ke arah cahaya warna-warni di altar. Apa yang sedang kulakukan di sini? Aku mengalihkan pandanganku pada Yesus yang tergantung di kayu salib, tapi Dia tetap membisu dalam ketenangan gereja.

Aku kembali ke dalam pemikiranku dalam perjalanan menuju ke gereja ini. Apakah aku harus terus berlari dari kedua orang tuaku? Kalau dipikir-pikir, sudah lebih dari dua tahun sejak terakhir kali aku menjejakkan kaki di rumah orang tuaku. Aku sudah tidak menganggapnya sebagai rumahku lagi. Umurku sudah lewat dari dua puluh lima tahun, sudah saatnya aku berdiri sendiri. Aku sudah bekerja, dan penghasilanku cukup untuk hidup, bahkan aku masih bisa menyisihkan uang untuk menabung. Dan mereka mempertanyakan kapan aku akan berkeluarga.

Lalu datang tawaran darinya. Kalau aku mau ikut dengannya dan tinggal di luar negeri. Tapi apakah kedua orang tuaku akan merelakan aku menikah dengan seseorang yang tidak beragama, bahkan tidak percaya pada kekuatan besar yang disebut Tuhan itu? Mereka bahkan tidak pernah menerima hubunganku dengannya. Kata mereka orang barat tidak baik karena mereka melakukan hubungan seks pranikah, karena mereka sering ganti-ganti pasangan, karena mereka sering minum minuman keras. Betapa picik pandangan mereka, bukankah orang kita sendiri juga melakukan hal yang sama, bahkan sejak sebelum kedatangan mereka ke sini? Dan tidak semua orang barat melakukan hal itu.

Dalam bayanganku terlihat Stephan dengan senyumannya. Dua hari yang lalu dia datang dan mengajukan tawaran yang tidak bisa kutolak. Sebentuk cincin platina dalam kotak beludru. Dan kini cincin itu sudah berpindah ke jari manisku. Bagiku – dan baginya juga – pernikahan itu adalah perjanjian antara dua insan, bukan perjanjian dua keluarga. Yang akan menikah adalah aku dan dia, bukan kedua orang tuaku dengan orang tuanya. Toh aku tidak bisa memungkiri kenyataan bahwa orang tuaku pasti akan banyak melibatkan diri dalam hal ini.

Aku punya waktu dua minggu sebelum dia pulang lagi ke negaranya. Dia mengatakan padaku bahwa dia punya dua tiket untuk pulang, tapi kalau aku belum siap untuk ikut dengannya, salah satu tiket itu akan ditunda untuk jangka waktu yang tak terbatas. Dan aku akan dapat memperolehnya kembali kalau aku sudah siap.

Aku menoleh pada Bunda Maria yang berdiri di sisi altar dan dia membalasku dengan senyumnya yang teduh. Mungkinkah dia mengerti perasaanku? Aku tidak mungkin pergi begitu saja tanpa berkata apapun pada orang tuaku, tapi takut mereka tidak akan setuju untuk membiarkan aku pergi ke luar negeri dengan Stephan.

Aku teringat dua tahun yang lalu ketika aku membawa Stephan pulang. Betapa mereka tidak menyukainya. Entah karena dia bukan white-collar, entah karena dia berambut panjang, entah karena dia bukan orang Indonesia? Dan aku bertahan bahwa Stephan dan aku cocok satu sama lain dan sudah lama menjalin hubungan, meskipun hanya melalui surat dan e-mail atau telepon. Dan mereka berkeras bahwa hubunganku tidak akan bertahan lama. “Papa, Mama, lihatlah cincin yang ada di jariku ini. Ucapan kalian tidak terbukti,” seruku dalam hati seraya memutar-mutar cincin itu.

Suara kereta api yang lewat di samping gereja membawaku kembali dari lamunanku. Altar sudah terlihat redup. Cahaya warna-warni yang tadi menyiramnya sudah hilang. Entah berapa lama aku berdiam di sini. Aku berdiri dan beranjak dari gereja itu dan berjalan sambil menikmati angin dingin yang memain-mainkan rambutku. Tanpa sadar tanganku menyentuh cincin itu lagi.

Di tengah jalan aku berhenti di sebuah wartel. Kuputar sebuah nomor yang rasanya sudah bertahun-tahun kulupakan. Dan ketika terdengar jawaban dari ujung sana, aku menarik nafas dan berkata padanya, “Mama, aku akan pulang dengan seorang teman.”

 

Bandung, 31 Juli 2000