TERE

By: secret_folder@hotmail.com

 

Aku berjalan di tepi pantai dengan bertelanjang kaki. Dinginnya pasir basah yang terkena hamparan ombak menyusup di antara jemari kakiku. Bulan purnama menggantung di langit dengan warnanya yang kuning pucat. Terkadang buih-buih ombak menyentuh kakiku dan menarik butiran-butiran pasir seiring dengan kembalinya ke laut lepas. Tidak ada seorang pun yang terlihat oleh mataku.

Pantai ini memang selalu sepi dari pengunjung. Bahkan di tengah musim panas pun tidak banyak yang datang. Paling hanya beberapa orang lokal yang ingin berjemur atau mandi cahaya matahari dan anak-anak kecil dengan keluarganya di hari Minggu. Tidak banyak yang bisa dilihat di pantai ini selain hamparan pasir yang lembut dengan deburan ombak yang tenang.

Aku belum lama pindah ke daerah ini. Rumahku tidak jauh dari tepi pantai. Sebuah rumah kayu di atas tebing karang di timur pantai berpasir ini dengan sebuah deck yang menghadap ke lepas pantai. Dan setelah selama sebulan hanya dapat menikmati nikmatnya pantai ini dari atas deck itu, akhirnya aku dapat menyempatkan diri untuk turun dan merasakannya sendiri malam ini.

Aku duduk di atas pasir yang kering, menghadap ke arah datangnya gelombang-gelombang ombak. Kubuang jauh-jauh pikiran akan pekerjaan yang sebenarnya masih bertumpuk di dalam rumahku. Aku sudah merasa jenuh dengan segalanya. Rasanya seperti ada orang yang memburuku untuk mengerjakan itu semua.

Entah berapa lama aku duduk di sana sambil menikmati bunyi deburan ombak yang mengalun sunyi bersama malam. Tiba-tiba mataku menangkap sesosok bayangan yang berdiri sekian meter dari tempat aku duduk. Seorang gadis sedang berdiri di pantai yang sama denganku. Dia sepertinya menikmati buih ombak yang pecah di kakinya. Gerakannya bermain-main dengan ombak terlihat lincah dan ceria.

Aku berdiri dan mendekatinya. Sebetulnya cukup aneh melihat seorang gadis bermain di pantai sendirian saat malam sudah selarut ini. Tapi aku tetap memberanikan diriku untuk menyapanya. Dia membalas sapaanku dengan ramah.

“Jarang ada orang yang datang ke pantai malam-malam,” katanya. Dia kemudian tersenyum dan menyodorkan tangannya, “Teresia.”

Kusambut tangannya dan kujabat dengan erat. “Valens. Aku tinggal tidak jauh dari sini. Di tebing timur.”

“Ya, aku pernah melihatmu di sana,” katanya, “Aku juga dari sini.”

Oh, orang lokal, rupanya. Aku memang belum sempat untuk berkenalan dengan orang-orang dari desa nelayan kecil itu. Tidak heran aku tidak pernah melihatnya. Lagi pula, sosoknya tidak jauh dari kebanyakan wanita daerah sini. Rambutnya berwarna hitam legam dengan kulit yang agak kemerahan. Dia mengenakan rok sebetis berwarna hitam dengan kaos berlengan panjang yang juga berwarna hitam. Rambutnya diikat dengan pita keperakan.

“Aku belum pernah melihatmu sebelumnya,” kataku berbasa-basi.

Dia tersenyum sejenak dan berkata, “Aku memang jarang terlihat.” Dia meloncat untuk menghindari gelombang kecil yang datang. Tertawa kecil dan bermain-main dengan gelombang lain yang datang. Sepintas lalu gerakannya seperti sedang menari mengikuti hembusan angin. Seluruh tubuhnya bergerak dengan gemulai bersama dengan ombak.

Aku tersenyum pada pemikiranku sendiri. Dia cantik.

“Kamu tinggal sendirian di rumah itu?” tanyanya. Dia berhenti lalu duduk di sampingku. Tangannya membuat lukisan-lukisan di pasir. Lingkaran, spiral, oval. Sepertinya dia tidak menyukai sudut yang tajam.

“Ya…, apa yang kau harapkan?” Aku balik bertanya. Dengan siapa seharusnya aku tinggal? Hidup sendiri pun sudah cukup menyusahkan, apalagi kalau aku harus berbagi dengan orang lain.

“Tenang saja, pertanyaanmu tidak menyinggung,” kataku ketika melihat perubahan air mukanya setelah mendengar jawabanku. “Maaf, aku jarang mengobrol seperti ini.”

“Kamu sepertinya bukan dari daerah sini,” katanya, “Logatmu bukan logat orang sekitar sini.”

Tentu saja semua orang sudah bisa menebaknya. Bukan hanya aku tidak berbicara dengan aksen setempat, dari wajahku pun aku yakin mereka bisa melihatnya. Kulitku juga jauh lebih pucat dari orang setempat.

“Tapi kamu berbicara dengan lancar sekali,” katanya lagi.

“Aku dibesarkan hanya beberapa ratus kilometer dari sini. Tapi aku memang bukan orang sini.” Aku memperhatikan matanya yang hitam. Mata itu memandangku dengan pandangan sendu. Entah apa yang ada di balik pancaran matanya.

“Kamu tidak merasa kesepian tinggal sendirian?”

Aku menggeleng perlahan. Dusta besar!

“Aku kesepian,” katanya kemudian. Dia mengangkat wajahnya dan memandang ke arah bulan. “Sudah beberapa tahun ini aku hidup sendirian,” lanjutnya, “Tidak ada siapa-siapa.” Suaranya melemah. Dia terdiam sejenak, tapi dia segera menoleh ke arahku dan berbicara dengan nada ceria, “Aku senang bisa bertemu denganmu.”

Senyumku merekah mendengar kata-katanya. “Aku juga senang bisa bertemu denganmu.”

Entah berapa lama aku mengobrol dengannya di tepi pantai. Dia terkadang menyiramku dengan air laut yang datang mendekati kami bersama ombak. Dia bercerita tentang mimpi-mimpinya mengarungi lautan dan aku bercerita tentang kehidupanku yang berpindah-pindah kesana kemari. Dia mendengarkan ceritaku dengan mata yang cerah, tapi entah mengapa aku masih merasakan kekosongan di dalamnya.

 

 

“Tuan, Tuan tidak apa-apa?” Aku merasa badanku diguncang.

Aku membuka mataku. Dua orang nelayan duduk di sisiku. Aku mendengar kata-kata mereka, sementara aku berusaha memulihkan kesadaranku.

“Mungkin dia terbawa ombak saat badai kemarin,” kata seseorang di antara mereka.

Tunggu sebentar…, badai?

“Bukankah dia seniman yang tinggal di rumah tebing itu?” kata yang lain.

“Badai kemarin memang tidak diramalkan sebelumnya.”

Orang yang pertama membantuku untuk duduk. Badanku terasa sakit. “Badai?” tanyaku. Seingatku aku tidak merasakan badai sama sekali. “Aku hanya ingat aku sedang berjalan-jalan di tepi pantai, lalu….” Lalu?

Tiba-tiba aku teringat akan sesuatu. “Tere!” seruku, “Di mana Teresia?”

“Teresia?” si orang pertama terlihat heran. “Anda bersama seseorang kemarin malam?”

“Ya,” jawabku, lalu aku menyebutkan ciri-ciri gadis itu. “Rambutnya diikat dengan pita berwarna keperakan,” aku menutup deskripsiku.

“Teresia namanya?” tanya orang kedua, “Dengan pita rambut berwarna perak dan pakaian warna hitam?”

“Ya…. Apa dia tidak apa-apa?” tanyaku.

Kedua orang itu berpandangan sejenak sebelum akhirnya salah satu di antara mereka berkata, “Anda pasti bertemu dengan hantunya. Teresia meninggal dua puluh tahun yang lalu tanggal 13 April, hilang ditelan badai….”

Aku tidak mendengar lagi cerita orang itu. Ini tidak mungkin terjadi…. Tidak mungkin terjadi!

 

 

…I asked people, “Where’s the girl with silver snakes?” But they just stared at me. One said, “I have something to tell. Tere died April 13th 20 years ago. Drowned in the silver sea, but something I don’t know….”

Remaining words were taken by the wind, lost in the storm. I screamed, “Her dying day was the day I was born.” Why Tere? Why?

Embracing her, she feels so real. But tracing her, there’s no image in the waterline…*

 

 

Aku memandang ke arah laut lepas. Pekerjaanku sudah selesai dan sekarang saatnya untuk pergi dari tempat ini dan kembali ke kota. Semua barang-barangku sudah diatur dengan rapi di dalam tas dan kotak-kotak.

Aku masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu. Aku masih belum menemukan siapa Teresia yang kutemui pada malam itu. Sejak saat itu aku tidak pernah lagi melihatnya meskipun dengan sengaja aku datang ke pantai itu pada malam hari. Ataukah saat itu aku sedang bermimpi?

 

 

 

 

 

By Padmae

Disadur dari “Tere” – Valensia Clarkson

 

The song "Tere" is owned by Valensia (P) & (C) 1993 Phonogram BV The Netherlands