Bermimpi di Ladang Kusut

Aku menutup telepon genggamku dan meyurukkannya ke dalam tas di sisiku. Hidupku sudah mati. Aku tidak punya mimpi lagi. Semuanya habis ditelan waktu... ditelan egoku.... Habis. Pekerjaan aku tidak punya. Pacar aku tidak punya. Mimpi pun aku tidak punya. Yang ada hanya pena di tangan, sebuah buku tulis, dan sebotol bir. Di tengah keramaian warung makan yang remang-remang ini, hidup pun aku tidak punya. Apalagi masa depan. Karena mimpi pun sudah mati.

“Life sucks, huh?” tanya seorang bule yang tiba-tiba sudah duduk di sisiku, di meja bar yang ada di dekat tangga itu. Dia meletakkan jamaican-rhum-cola-nya di atas meja.

Aku mengangkat muka dan menoleh kepadanya. Dia kumal. Rambutnya tergerai sampai pundak. Bergelombang, saling bersilangan, kusut. Entah sudah berapa hari dia tidak bercukur. Mungkin dia backpacker yang mengusir kesunyian di negeri orang.

Aku kembali menatap buku tulisku, dengan pena masih di tangan. Dan tanganku mulai menggoreskan tinta hitam di atas kertas bergaris itu. Bukan tulisan. Bukan gambar. Hanya benang kusut. Kusut seperti rambutnya yang bergelombang. Kusut seperti hidupku.

“Sometimes things just don’t work the way we want them to,” gumamnya kemudian, entah kepada siapa. Mungkin padaku, karena tidak ada siapapun di dekat kami.

Aku tidak mengangkat kepala, dan tanganku masih bergerak-gerak di atas kertas. Menggambarkan hidupku dalam simpul-simpul benang kusut berwarna hitam. Rajutan tanpa bentuk yang makin suram dalam keremangan.

Dia melanjutkan kata-katanya, seolah tidak peduli siapa yang mendengarkannya. “You know, you are just perfect to picture my life. You gesture the reflection in me.” Dia menenggak minumannya dan mendesah panjang, “We run... we’re always be on the run.”

Aku berhenti. Tanganku berhenti bergerak dan mukaku tertoleh padanya. Aku tidak melihat apapun yang ada padanya yang ada padaku. Kacuali kekusutan rambutnya yang menyerupai kekusutan hidupku. Ataukah aku memang hanya bayangan yang tidak sadar akan cahaya? Suara riuh rendah yang tadi menghilang kembali masuk dalam pikiranku. Dan bersamaan dengannya mukaku kembali tertunduk, dan tanganku mulai bergerak, mencoba mengurai benang-benang itu di atas kertas.

Bule itu terus berbicara. Tentang pelariannya. Tentang pencariannya. Tentang hidupnya. Sesekali dia meminum cairan coklat menghitam dari botolnya. “... and as I see you today, with that bottle, paper, and pen... I said, ‘gosh, I’ve found my reflection’. We’re just the same, you know?”

Dan dengan itu tanganku berhenti bergerak.

Dia mengeluarkan rokok putih dari sebuah kotak di saku bajunya. “May I smoke here?” tanyanya sambil kemudian mengeluarkan korek api. Sebuah geretan.

Aku mengangguk sekenanya. Kali ini mataku tidak dapat lepas dari sosoknya. Dari rambut coklatnya yang kusut, dari kulitnya yang merah terpanggang matahari tropis, dari asap rokok yang dihembuskan dari antara bibir tipis yang mulai tertutup kumisnya.

“Life sucks indeed,” kataku tiba-tiba. Entah dari mana datangnya keinginan untuk berbicara padanya, “But I am not your reflection,” lanjutku. Lalu aku diam menunggu reaksinya.

Dia tertawa. “You have stopped dreaming. I have stopped living. You know, to live is to dream and to dream is to live.” Dia minum lagi. “I have decided to stop living because my dream reached dead-end. I thought I had it fulfilled, but I woke up and realized that I was living nightmare.”

Dia lalu menghisap rokoknya dan dengan perlahan menghembuskan asap putih yang menari ke langit-langit. “No, no... you are not my reflection. You just gesture it somehow. See, I woke up from a nightmare and realized taht life is not better than that. You... you... woke up from a dream and realized that life cannot fulfill it.” Lalu dia diam.

“Then, why have you stopped living?” tanyaku datar. Aku bahkan tidak tahu dari mana datangnya suara itu.
Dia tertawa lagi, “What is so good about living when you can only dreaming nightmare? But then, I will only stop living until I can find a new dream to live in.” Dia diam sejenak dan tersenyum sinis, bukan padaku, mungkin pada dirinya sendiri. “Perhaps I’d die before I get to live again.”

“I just don’t get it.” Aku menggeleng-gelengkan kepala. Tidak mengerti. Kata-katanya membuat pikiranku semakin kusut.

“We have nothing left but ourselves.” Matanya meredup. “I had everything; money, fame, women, anything a man could ever wanted. You... you had your dream. And now that they’re gone, what is left is only me... you... and that’s all.” Lalu dia tersenyum lagi, kali ini bukan lagi senyum sinis.. “But then...now I should be thankful that I still have myself.”

Aku masih tidak mengerti. Mungkin pikirannya sama kusut dengan rambut yang berjuntai-juntai mengikuti gerakan kepalanya. Tapi dia benar, aku tidak hidup karena mimpiku sudah mati.

“You should be thankfull that you still have yourself,” katanya sambil menepuk-nepuk pundakku. Mungkin dia sudah mabuk. Mabuk jamaican-rhum, dan mabuk kekusutan hidupnya.

“Because,” katanya melanjutkan, “we both can still try to dream. We can close our eyes once again and dreeam... and then... we’re able to live again.” Sekali lagi dia tertawa, tapi di sudut-sudut matanya ada cairan bening menggenang. “You know, life ends when you stop dreaming,” katanya kemudian. Lalu dia membenamkan mukanya ke dalam lipatan tangannya. Diam, tidak bergerak.

Aku termenung menatap benang kusut di atas kertas di hadapanku. “Hidup berakhir saat kita berhenti bermimpi,” gumamku, tapi kemudian, “Selama kita masih punya diri kita sendiri, kita masih bisa bermimpi. Bukankah mimpi hanya butuh modal pikiran? Dan dengan berpikir, maka kita masih bisa hidup.” Sesederhana itukah hidup ini? Mungkin....

Kuhabiskan bir yang ada di gelas. Itu gelas terakhir yang bisa kuperoleh dari botol bir literan itu. Aku merapikan alat tulisku dan kudorong mereka ke dalam tasku, berhimpit bersama telepon genggamku. Aku menghela nafas dan melirik ke pria tanpa nama itu. Dia masih tidak bergerak. Mungkin dia sedang bermimpi. Mimpi tentang mimpi yang masih dicarinya. Mimpi dalam ladang pikirannya yang kusut.

Aku beranjak ke kasir dan membayar minumanku. Lalu kulangkahkan kakiku keluar dari warung makan itu. Udara malam Bandung terasa segar dibandingkan riuh rendahnya suara dan gulungan asap rokok dalam warung itu. Dan kurapatkan taasku ke badan. Langkah-langkah kakiku bergerak perlahan menjauhi warung makan di Dago Pojok itu. Ada senyum tersungging di bibirku. Aku masih punya diriku sendiri. Dan sekusut apapun pikiranku, aku masih bisa bermimpi dengannya. Aku masih bisa hidup lagi....

Bandung, 4 Desember 2002
Dyah Fatma
Sebagai fragmen dari “Amadeus: A Life Without End” yang belum pernah ditulis sampai saat ini. Thanks buat Novie, Valens, dan McAulley buat inspirasinya.


Amadeus: A Life Without End is yet another abandoned long stories of mine. Well, it's actually just a plot running around my head. But still, I always find it hard to write when the plot is already there. Better keep the story ever flowing like river, ne?

Well... the girl is basically me... suddenly feeling "lost" after some shocking truth that I learned about someone.... Nah!! It's stupid, really. But well, it triggered a good story. (PS: Amadeus is a mirror image of Valens).